Jum'at, 26 November 2010 - 19:54 wib Busyro Muqoddas (Foto: Andika Pradipta/okezone)
KOMISI III DPR akhirnya memilih Busyro Muqoddas sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui mekanisme voting. Busyro mengalahkan kandidat lain, Bambang Widjojanto. Sebagai Ketua KPK baru, langkah apa saja yang akan dilakukan Busyro? Berikut petikan wawancaranya.
Target apa yang akan Anda wujudkan di KPK?
Itu terkait dengan visi saya, yaitu bahwa KPK perlu membangun konsep besar mengenai sistem kepemimpinan dan sistem tata kelola keuangan negara yang transparan, profesional, dan akuntabel. Dua variabel utama itu penting, sistem kepemimpinan dan sistem kelola keuangan. Karena keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Kalau ada orang mengatakan, “Kalau organisasi rusak, mesti sistem itu yang rusak,” saya tidak percaya. Karena menurut saya, yang rusak itu pemimpin dan sistemnya, maka organisasi rusak atau diselewengkan. Karena itu, harus dalam satu bangunan.
Lantas apa yang perlu dibenahi?
Penjabaran dari visi besar itu tentu mengarah pada langkah pertama yakni konsolidasi organisasi. Seperti hal-hal yang menyangkut SDM (sumber daya manusia), budaya organisasi, tata kelola organisasi, dan tunggakan perkara yang belum selesai untuk ditakar aspek pembuktiannya. Itu merupakan sejumlah hal yang perlu dikonsolidasikan. Siapa pun yang terpilih, konsolidasi tidak bisa dilakukan sendirian. Sehingga, dia perlu kerja sama dengan empat pimpinan KPK yang lain dan semua jajarannya.
Apa langkah konkret untuk mewujudkan visi Anda itu?
Konsolidasi adalah langkah utama. Lalu disusul dengan langkah untuk memperkuat prinsip-prinsip trust dengan kepolisian dan kejaksaan, dengan birokrasi pemerintah dan lembaga pemerintah, dan juga jangan lupa dengan civil society. Saya mendasarkan pada satu pengalaman manajemen organisasi, bahwa lembaga apa pun selalu butuh dikondisikan untuk bisa lebih bersinergi dengan lembaga lain. Hal itu yang saya lakukan di Komisi Yudisial (KY) saat ini.
Anda menyinggung soal tunggakan perkara, apa yang akan menjadi prioritas?
Konsolidasi itu menyangkut mapping perkara. Menakar pembuktiannya. Sehingga, dari sana baru ditemukan skala prioritas. Bisa Century (kasus bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun) dan bisa juga yang lain. Kalau memproses kasus-kasus hukum harus dengan bukti-bukti. Hukum pembuktian, ada di KUHP dan KUHAP.
Bagaimana Anda menghadapi tekanan politik atau bahkan ancaman?
Saya melihat justru sebaliknya. Bagaimana KPK mampu membangun sinergi untuk mengurangi tekanan-tekanan politik itu. Katakanlah, tekanan itu datang dari pemerintah dan politisi. Pertanyaannya, pemerintah itu punya komitmen pemberantasan korupsi nggak? Jawabannya, ya. Politisi, itu kan partai politik (parpol). Parpol punya agenda pemberantasan korupsi nggak? Jawabannya pasti, ya. Nah, saya berangkat dari hal itu. Bagaimana mereka ini diposisikan bersama untuk membedah peta dan problematika korupsi secara bersama. Sehingga, dengan mereka ini kita memiliki common enemy yang namanya korupsi yang semakin menggila ini. Tidak ada satu partai pun yang menolak. Karena partai satu misi ideologinya, ada elemen moral, yang salah satunya mengusung good governance. Tidak mungkin mengusung good governance lalu lemah dalam menyikapi korupsi.
Apakah Anda melihat banyak usaha melemahkan KPK?
Justru itu ada persoalan. Persoalan itu yang menjadi agenda ke depan. Itulah yang namanya agenda kepemimpinan. Pemimpin itu tidak akan berfungsi ketika tidak menemukan masalah. Lalu ketika menemukan masalah tidak bisa diatasi, dia bukan pemimpin. Jadi, harus bisa mengatasi. Punya spirit dan konsep. Itu pemimpin. Bedakan, pejabat negara itu ada yang pemimpin dan ada yang pengurus. Pengurus itu hanya mengurusi administratif, juklak (petunjuk pelaksanaan), juknis (petunjuk teknis). Tapi pemimpin, tidak harus jadi pejabat. Wartawan pun bisa jadi pemimpin. Tulisannya bisa mengubah cara pandang orang. Itu pemimpin. Begitu tajamnya pena wartawan, jika yang dirumuskan hal itu dapat memengaruhi orang banyak. Setiap pemimpin akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.
Bagaimana Anda melihat sistem pencegahan di KPK?
Cukup baik, tapi harus ditingkatkan. Berbagai sistem pencegahan sudah berjalan baik.
Kebijakan yang berpotensi korupsi seperti apa?
Yang memang dirancang untuk korup. Dirancang sejak awal untuk korup. Itu bisa undang-undang, kebijakan pemerintah, daerah atau lokal. Di tangan penguasa yang koruptif, maka kebijakan itu bisa sengaja dibuat untuk melakukan korupsi. Itulah namanya kleptokrasi. Kalau birokrasi sudah dibangun agar orang-orang yang menjabat bisa mencuri, yang kemudian dikenal dengan kleptokrasi, itu bisa jadi korupsi sepanjang masa. Kenapa orang banyak yang kepengen sekali jadi pejabat, padahal untuk jadi pejabat dia harus ngutang sana, ngutang sini? Karena, dia tahu ada kebijakan yang bisa diatur.
Terhadap kebijakan yang korup itu, apa yang perlu dilakukan?
Sebagai seorang akademisi, agenda pertama itu mapping. Database penting, hasil survei ditelaah. Hasil analisisnya bisa dibuka dan dibahas dengan berbagai kalangan. Misal dengan Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Keuangan dan lainnya. Maka itu, fungsi leadership penting. Leadership dapat memengaruhi orang lain agar komit, menuju jalan hidup yang lurus. Itu leadership. Leadership yang benar. Leadership yang nggak benar adalah memengaruhi orang lain menjadi maling-maling. Itu leader yang palsu. Kebanyakan yang palsu di Indonesia ini. Karena banyak ngajak yang buruk, daripada ngajak yang benar.
Bagaimana merespons desakan DPR agar skandal Century dituntaskan?
Bukan hanya Century. Mungkin saja nanti ada yang lain, ada yang pajak, ada traveller’s cheque. Semua saja. KPK sendiri tidak bisa teriakteriak jika tidak punya bukti-bukti yang kuat. Kalau bukti sudah kuat, ya nggak perlu lagi teriak-teriak, tinggal action. Saya nggak suka teriak-teriak. Rakyat ini butuh action.
Apa yang akan Anda lakukan untuk memompa semangat pegawai KPK?
Di situ bukan bekerja, tapi berjuang. Jihad kemanusiaan. Artinya, pemberantasan korupsi ini bisa memanusiakan manusia. Bayangkan kalau tidak ada korupsi, sekian juta orang bisa sekolah dan bisa berkeadaban. Manusia yang korup itu mentalnya kumuh, nggak beradab lagi. Manusia yang prahistoris itu, hakikatnya kasihan dia (koruptor). Melawan korupsi itu bukan melawan koruptor. Yang di benci itu kelakuannya.
Bagaimana pendapat Anda tentang remisi, grasi, dan asimilasi?
Harus ditata ulang. Undang-undang yang terkait itu harus direvisi. Yang namanya undang-undang juga harus dievaluasi. Ketika konteksnya sudah berubah, maka undang-undang layak direvisi. Ya itu nantilah, bagian dari konsolidasi nanti. Berarti harus sinergis dengan DPR. Membangun semangat antikorupsi itu harus dengan semangat kerja sama.
Pemberian remisi, grasi, dan asimilasi untuk koruptor, apakah tepat?
Tergantung konteksnya dulu. Kalau untuk koruptor-koruptor dengan alasan yang tidak sesuai, no way.
Rutinitas Anda sehari-hari saat santai?
Olahraga. Fitness. Kalau di rumah, di Yogyakarta, ya jogging, naik sepeda ke desa-desa. Kalau saya pulang ke Yogya, banyak pelajaran yang saya dapat dari jalan-jalan ketika naik sepeda. Kalau di Jakarta kan, banyak gedung angkuh, apartemen angkuh. Nggak ada pelajaran kemanusiaan di Jakarta ini, kering. Olahraga minimal seminggu tiga kali.(SINDO//mbs)
Jum'at, 26 November 2010 - 19:54 wib
Busyro Muqoddas (Foto: Andika Pradipta/okezone)

Target apa yang akan Anda wujudkan di KPK?
Itu terkait dengan visi saya, yaitu bahwa KPK perlu membangun konsep besar mengenai sistem kepemimpinan dan sistem tata kelola keuangan negara yang transparan, profesional, dan akuntabel. Dua variabel utama itu penting, sistem kepemimpinan dan sistem kelola keuangan. Karena keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Kalau ada orang mengatakan, “Kalau organisasi rusak, mesti sistem itu yang rusak,” saya tidak percaya. Karena menurut saya, yang rusak itu pemimpin dan sistemnya, maka organisasi rusak atau diselewengkan. Karena itu, harus dalam satu bangunan.
Lantas apa yang perlu dibenahi?
Penjabaran dari visi besar itu tentu mengarah pada langkah pertama yakni konsolidasi organisasi. Seperti hal-hal yang menyangkut SDM (sumber daya manusia), budaya organisasi, tata kelola organisasi, dan tunggakan perkara yang belum selesai untuk ditakar aspek pembuktiannya. Itu merupakan sejumlah hal yang perlu dikonsolidasikan. Siapa pun yang terpilih, konsolidasi tidak bisa dilakukan sendirian. Sehingga, dia perlu kerja sama dengan empat pimpinan KPK yang lain dan semua jajarannya.
Apa langkah konkret untuk mewujudkan visi Anda itu?
Konsolidasi adalah langkah utama. Lalu disusul dengan langkah untuk memperkuat prinsip-prinsip trust dengan kepolisian dan kejaksaan, dengan birokrasi pemerintah dan lembaga pemerintah, dan juga jangan lupa dengan civil society. Saya mendasarkan pada satu pengalaman manajemen organisasi, bahwa lembaga apa pun selalu butuh dikondisikan untuk bisa lebih bersinergi dengan lembaga lain. Hal itu yang saya lakukan di Komisi Yudisial (KY) saat ini.
Anda menyinggung soal tunggakan perkara, apa yang akan menjadi prioritas?
Konsolidasi itu menyangkut mapping perkara. Menakar pembuktiannya. Sehingga, dari sana baru ditemukan skala prioritas. Bisa Century (kasus bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun) dan bisa juga yang lain. Kalau memproses kasus-kasus hukum harus dengan bukti-bukti. Hukum pembuktian, ada di KUHP dan KUHAP.
Bagaimana Anda menghadapi tekanan politik atau bahkan ancaman?
Saya melihat justru sebaliknya. Bagaimana KPK mampu membangun sinergi untuk mengurangi tekanan-tekanan politik itu. Katakanlah, tekanan itu datang dari pemerintah dan politisi. Pertanyaannya, pemerintah itu punya komitmen pemberantasan korupsi nggak? Jawabannya, ya. Politisi, itu kan partai politik (parpol). Parpol punya agenda pemberantasan korupsi nggak? Jawabannya pasti, ya. Nah, saya berangkat dari hal itu. Bagaimana mereka ini diposisikan bersama untuk membedah peta dan problematika korupsi secara bersama. Sehingga, dengan mereka ini kita memiliki common enemy yang namanya korupsi yang semakin menggila ini. Tidak ada satu partai pun yang menolak. Karena partai satu misi ideologinya, ada elemen moral, yang salah satunya mengusung good governance. Tidak mungkin mengusung good governance lalu lemah dalam menyikapi korupsi.
Apakah Anda melihat banyak usaha melemahkan KPK?
Justru itu ada persoalan. Persoalan itu yang menjadi agenda ke depan. Itulah yang namanya agenda kepemimpinan. Pemimpin itu tidak akan berfungsi ketika tidak menemukan masalah. Lalu ketika menemukan masalah tidak bisa diatasi, dia bukan pemimpin. Jadi, harus bisa mengatasi. Punya spirit dan konsep. Itu pemimpin. Bedakan, pejabat negara itu ada yang pemimpin dan ada yang pengurus. Pengurus itu hanya mengurusi administratif, juklak (petunjuk pelaksanaan), juknis (petunjuk teknis). Tapi pemimpin, tidak harus jadi pejabat. Wartawan pun bisa jadi pemimpin. Tulisannya bisa mengubah cara pandang orang. Itu pemimpin. Begitu tajamnya pena wartawan, jika yang dirumuskan hal itu dapat memengaruhi orang banyak. Setiap pemimpin akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.
Bagaimana Anda melihat sistem pencegahan di KPK?
Cukup baik, tapi harus ditingkatkan. Berbagai sistem pencegahan sudah berjalan baik.
Kebijakan yang berpotensi korupsi seperti apa?
Yang memang dirancang untuk korup. Dirancang sejak awal untuk korup. Itu bisa undang-undang, kebijakan pemerintah, daerah atau lokal. Di tangan penguasa yang koruptif, maka kebijakan itu bisa sengaja dibuat untuk melakukan korupsi. Itulah namanya kleptokrasi. Kalau birokrasi sudah dibangun agar orang-orang yang menjabat bisa mencuri, yang kemudian dikenal dengan kleptokrasi, itu bisa jadi korupsi sepanjang masa. Kenapa orang banyak yang kepengen sekali jadi pejabat, padahal untuk jadi pejabat dia harus ngutang sana, ngutang sini? Karena, dia tahu ada kebijakan yang bisa diatur.
Terhadap kebijakan yang korup itu, apa yang perlu dilakukan?
Sebagai seorang akademisi, agenda pertama itu mapping. Database penting, hasil survei ditelaah. Hasil analisisnya bisa dibuka dan dibahas dengan berbagai kalangan. Misal dengan Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Keuangan dan lainnya. Maka itu, fungsi leadership penting. Leadership dapat memengaruhi orang lain agar komit, menuju jalan hidup yang lurus. Itu leadership. Leadership yang benar. Leadership yang nggak benar adalah memengaruhi orang lain menjadi maling-maling. Itu leader yang palsu. Kebanyakan yang palsu di Indonesia ini. Karena banyak ngajak yang buruk, daripada ngajak yang benar.
Bagaimana merespons desakan DPR agar skandal Century dituntaskan?
Bukan hanya Century. Mungkin saja nanti ada yang lain, ada yang pajak, ada traveller’s cheque. Semua saja. KPK sendiri tidak bisa teriakteriak jika tidak punya bukti-bukti yang kuat. Kalau bukti sudah kuat, ya nggak perlu lagi teriak-teriak, tinggal action. Saya nggak suka teriak-teriak. Rakyat ini butuh action.
Apa yang akan Anda lakukan untuk memompa semangat pegawai KPK?
Di situ bukan bekerja, tapi berjuang. Jihad kemanusiaan. Artinya, pemberantasan korupsi ini bisa memanusiakan manusia. Bayangkan kalau tidak ada korupsi, sekian juta orang bisa sekolah dan bisa berkeadaban. Manusia yang korup itu mentalnya kumuh, nggak beradab lagi. Manusia yang prahistoris itu, hakikatnya kasihan dia (koruptor). Melawan korupsi itu bukan melawan koruptor. Yang di benci itu kelakuannya.
Bagaimana pendapat Anda tentang remisi, grasi, dan asimilasi?
Harus ditata ulang. Undang-undang yang terkait itu harus direvisi. Yang namanya undang-undang juga harus dievaluasi. Ketika konteksnya sudah berubah, maka undang-undang layak direvisi. Ya itu nantilah, bagian dari konsolidasi nanti. Berarti harus sinergis dengan DPR. Membangun semangat antikorupsi itu harus dengan semangat kerja sama.
Pemberian remisi, grasi, dan asimilasi untuk koruptor, apakah tepat?
Tergantung konteksnya dulu. Kalau untuk koruptor-koruptor dengan alasan yang tidak sesuai, no way.
Rutinitas Anda sehari-hari saat santai?
Olahraga. Fitness. Kalau di rumah, di Yogyakarta, ya jogging, naik sepeda ke desa-desa. Kalau saya pulang ke Yogya, banyak pelajaran yang saya dapat dari jalan-jalan ketika naik sepeda. Kalau di Jakarta kan, banyak gedung angkuh, apartemen angkuh. Nggak ada pelajaran kemanusiaan di Jakarta ini, kering. Olahraga minimal seminggu tiga kali.(SINDO//mbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar